Sebelum menyelesaikan tulisan
ini, baru saja di depan rumah terjadi kecelakaan antar motor. Tabrakan dari
arah yang bersilangan di perempatan jalan. Seorang ibu mengendari motor dengan
kecepatan kencang tanpa membunyikan klakson atau sedikit mengurangi laju ketika
melewati perempatan depan rumah. Dari arah yang bersilangan, seorang bapak
dengan laju motor relatif lebih pelan tertabrak. Braaakkkkkk, syukurnya tidak
ada yang terluka. Hanya si bapak yang terjatuh dengan motornya. Pengendara
ibu-ibu langsung nyelonong pergi begitu saja tanpa minta maaf. Saya melihat
adegan itu dari celah pintu dapur. Setelah bangun dan kembali mengendarai
motor, si bapak mengejar dan memanggil si ibu, minta ganti rugi karena motornya
lecet. Si ibu menjawab “saya kan nggak sengaja pak, lagian saya nggak bawa
uang.”
Adegan itu seperti sudah lazim
terjadi di jalan. Ketika nyerempet dikit dimaklumi, ngebut nggak masalah walau
pun di dalam komplek perumahan, nggak pake helm juga bukan soal. Tetapi
sewaktu-waktu terjadi petaka muncul pertanyaan “siapa yang salah” dan mungkin
pernyataan “saya yang benar”.
![]() | |
sumber gambar: klik! |
Kemarin pagi saya juga mendapatkan
telepon dari suami di Jember yang mengabarkan bahwa ia megalami musibah kecelakaan
kecil. Saya langsung tanya ini itu perihal kecelakaan yang dimaksud dan
berharap tidak terjadi apa-apa setelahnya. Rasanya dag dig dug nggak karuan
karena saya sendiri baru diantar pulang ke Tangerang untuk “libur” bersama anak
sampai bulan Februari. Mendapat kabar demikian sungguh bukan hal yang
menyenangkan.
Berdasarkan apa yang dialami oleh suami, pagi-pagi jam 6 dari
arah rumah tinggal kami di daerah Mastrip-Jember dia mengendarai mobil untuk
menuju ke kantor di Jl. PB Sudirman. Memaklumi jalanan Jember hari senin yang
cukup padat oleh lalu lintas anak sekolah dan orang bekerja, suami sudah
berusaha sehati-hati mungkin. Lalu ketika melewati daerah bundaran Mastrip,
suami saya hendak berbelok dan memberikan lampu tanda untuk belok. Kondisi lalu
lintas saat itu adalah semua motor dan mobil yang berkendara di sekitarnya
berhenti untuk memberi jalan. Belum sempat berbelok, tiba-tiba ada satu motor
yang dikendari oleh siswi kelas 2 SMA yang nyelonong dan langsung menabrak
mobil yang dikendarai oleh suami saya. Pagi yang “gemeruduk”. Suami saya kaget,
langsung turun dari mobil.
Bundaran Mastrip - Jember (sumber foto: klik!) |
Saya tahu suami saya sangat panik
saat itu, jangankan mengalami kecelakaan antar kendaraan, lihat saya nyengir
sakit saja sudah ketar-ketir. Suami langsung mengecek dan menanyakan kondisi siswi
yang mengendarai motor, pada saat yang sama ada guru dari siswi tersebut berada
di tempat kejadian. Syukurnya kondisi siswi tersebut tidak parah, memar di
bagian jidat, dan hidung (sepertinya terbentur stang motor). Siswi tersebut
mengakui bahwa yang bersangkutan menerobos dan tidak sengaja menabrak mobil
yang dikendarai oleh suami saya. Alasannya “saya buru-buru mau ikut upacara
bendera”. Demikian yang diakui oleh siswi kelas 2 itu kepada orang-orang di
sekitar tempat kejadian, suami saya, dan guru sekolahnya.
Alhasil hari senin kemarin
menjadi hari wira-wiri suami saya mengurusi si anak SMA tersebut, dari mulai
mengantar ke rumah sakit, menghubungi orang tuanya, dimarahi oleh bapaknya si
anak. Hal itu masih belum selesai jika si anak mengeluhkan sakit akibat
kecelakaan itu, pertanggungjawaban atas risiko cedera yang dialami anak SMA tersebut
dilimpahkan ke suami saya. Senin kemarin
menjadi hari yang panjang rasanya....
Setelah banyak ngobrol dengan
orang tua si anak SMA tersebut (ibunya) juga dengan tantenya, mereka memang
mengakui bahwa “si adek” kalau naik motor memang ngebut. Baru distarter
langsung ngeeeeengggggggg. Dan ini bukan kecelakaan pertamanya. Well!! Ketika
saya tanyakan perihal apakah siswi kelas 2 tersebut sudah memiliki SIM (Surat
Izin Mengemudi), ternyata BELUM PUNYA SIM. Hiks dek dek....
“Gimana kondisi kamu?” tanya saya
siang kemarin.
“Aku nggak apa-apa, tadi Bapaknya
nelpon mara-marah” kata suami saya.
“Marah gimana?”
“Gimana pun kami yang bawa mobil
yang salah” mendengar jawaban itu rasanya geram sekali. Ngebut. Berangkat
sekolah last minute. Belum memiliki
SIM. Dan selalu benar.
Lalu bagaimana? Suami saya tetap
bertanggung jawab dengan risiko cedera yang mungkin menimpa siswi kelas 2 SMA
tersebut. Semoga hanya memar dan gigi senut-senut terbentur stang sehingga
semuanya lekas selesai... Amiin. Tapi menurut saya, hal ini adalah pembelajaran
yang sangat berharga, untuk berhati-hati di jalan raya. Mematuhi aturan
pengguna jalan. Bagi siswa/siswi yang bersekolah, nggak perlu lah niru adegan
kebut-kebutan anak motor di sinetron-sinetron, sama sekali nggak keren. Nggak
keren! jangan bangga dengan kemampuan menerobos jalan, bisa bunyiin knalpot
kenceng. Penting juga untuk bangun pagi, baik untuk kesehatan dan tidak telat
berangkat sekolah. Bagi orang tua juga sebaiknya tidak “memanjakan” fasilitas
kendaraan kepada anaknya sebelum mengikuti ujian berkendara dan mendapatkan
lisensi SIM.
Semoga kejadian ini bisa menjadi
introspeksi berkendara. Hati-hati di jalan...jadilah pengguna jalan yang bijak,
menjadi pengendara yang baik.
Tangerang, 24 Januari 2017
14:44 WIB
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
BERI KOMENTAR