Scott (1981) memberikan sebuah gagasan
mengenai etika subsistensi pada masyarakat petani. Etika tersebut muncul di
kebanyakan masyarakat petani yang pra-kapitalis akibat kekhawatiran akan
mengalami kekurangan. Etika tersebut merupakan konsekuensi dari satu kehidupan
yang begitu dekat dengan garis batas. Satu panen yang buruk tidak hanya akan
berarti kurang makan; agar dapat makan orang mungkin terpaksa mengorbankan
harga dirinya dan menjadi beban orang lain, atau menjual sebagian dari tanahnya
atau ternaknya sehingga memperkecil kemungkinan mencapai subsitensi yang
memadai tahun berikutnya.
Pola-pola resiprositas, kedermawanan
tanah komunal, dan saling tolong-menolong dalam pekerjaan, membantu mengatasi
kesulitan-kesulitan yang tak terelakkan yang mungkin dialami satu keluarga
petani dan yang tanpa pengaturan-pengaturan dapat mengakibatkan keluarga
tersebut jatuh ke bawah tingkat subsistensi. Masalah yang dihadapi oleh
keluarga petani adalah dapat menghasilkan makanan yang cukup untuk makan sekeluarga,
untuk membeli barang kebutuhan seperti garam dan kain, dan untuk memenuhi
tagihan-tagihan yang tak dapat ditawar-tawar lagi dari pihak luar. Etika
subsistensi menurut Scott ini merupakan kondisi “eksploitasi tanpa
pemberontakan”. Etika subsistensi berakar dalam kebiasaan-kebiasaan ekonomi dan
pertukaran-pertukaran sosial dalam masyarakat petani.
Perilaku ekonomi yang khas dari keluarga
petani yang berorientasi subsistensi merupakan akibat dari kenyataan bahwa
rumah tangga petani merupakan satu unit konsumsi dan unit produksi. Agar mampu
bertahan dalam satu unit maka keluarga tersebut pertama-tama harus memenuhi
kebutuhannya sebagai konsumen subsistensi sesuai dengan jumlah anggota
keluarga. Mereka mengutamakan apa yang dianggap aman dan dapat diandalkan
dibanding mengejar keuntungan jangka panjang. Pada rumah tangga subsisten,
tenaga kerja seringkali merupakan satu-satunya faktor produksi yang dimiliki
petani secara relatif melimpah, maka ia mungkin melakukan banyak pekerjaan
kecil supaya subsistensinya terpenuhi. Petani lebih suka meminimumkan
kemungkinan terjadinya satu bencana daripada memaksimumkan penghasilan
rata-ratanya (prinsip menghindari resiko—dahulukan selamat). Bagi keluarga
petani toleransi resiko berbeda-beda menurut dekatnya sumber-sumber daya mereka
kepada kebutuhan subsitensi pokok. Keluarga dengan anggota lebih banyak
memiliki tingkat krisis subsistensi yang lebih besar.
Gagasan Scott mengenai etika subsistensi
muncul dari dilema ekonomi sentral yang dihadapi oleh kebanyakan rumah tangga
petani. Oleh karena mereka hidup begitu dekat dengan batas subsistensi dan
menjadi sasaran permainan cuaca serta tuntutan-tuntutan dari pihak luar, maka
rumah tangga petani tidak mempunyai banyak peluang untuk menerapkan ilmu hitung
keuntungan maksimal menurut ilmu ekonomi neoklasik yang tradisional. Petani berusaha
menghindari kegagalan dan resiko (enggan resiko-risk averse) dengan meminimumkan kemungkinan subyektif dari
kerugian maksimum (safety-first).
Prinsip safety-first (dahulukan
selamat) melatarbelakangi banyak sekali pengaturan teknis, sosial dan moral
dalam satu tatanan agraris pra-kapitalis. Contoh: cara bertani pada lahan yang
terpencar-pencar, penggunaan lebih dari satu bibit. Implikasi “dahulukan
selamat” adalah bahwa ada satu perimeter defensif di sekitar kelaziman
subsistensi di mana resiko-resiko dihindari sebagai hal yang mengandung potensi
bencana, sedangkan di luar batas itu berlaku
kalkulasi laba yang bersifat borjuis.
Bagi petani, jaminan terhadap krisis merupakan prinsip
stratifikasi yang lebih aktif dibandingkan dengan penghasilan. Petani-petani
dengan mobilitas ke bawah mungkin akan berusaha bertahan mati-matian pada garis
batas di mana meraka menghadapi risiko kehilangan sebagian besar dari kepastian
yang mereka miliki sebelumnya. Pada
akhirnya petani akan melakukan strategi bertahan hidup demi mempertahankan
kecukupan pada rumah tangganya. Terdapat tiga sebab utama mengapa petani melakukan
strategi untuk bertahan yaitu: (1) fluktuasi-fluktuasi hasil karena sebab alami
(kerawanan ekologis); (2) fluktuasi-fluktuasi pasar dunia (kerawanan harga);
dan (3) fluktuasi hasil monokultur (kerawanan monokultur). Untuk menghadapi
fluktuasi tersebut petani melakukan empat strategi utama yaitu: (1) Self-help: pengandalan pada bentuk-bentuk
setempat dari usaha swadaya; (2) pPengandalan pada sektor ekonomi bukan petani;
(3) pengandalan pada bentuk-bentuk patronase dan bantuan yang didukung oleh
negara; (4) pengandalan pada struktur proteksi dan bantuan yang bersifat keagamaan
atau oposisi. Keempat strategi bertahan hidup tersebut tidak bersifat
eksklusif, artinya dapat berubah-ubah menurut waktu. Seorang petani bisa saja
menggunakan keempat pola tersebut sekaligus.
Referensi:
Scott,
James C. 1981. Moral Ekonomi Petani. Jakarta (ID): LP3ES.