![]() |
Perambahan hutan untuk perkebunan karet di Sumatera (foto dokumen pribadi) |
“Kami Oeloebalang dari landschap Gajo Loeos,
Poelau Nas, Meuke’, labuhan Hadji, Manggeng, Lho’ Pawoh Noord, Blang Pidie, dan
Bestuurcommissie dari landschap Bambel, Onderafdeeling Gajo dan Alas. Menimbang
bahwa perlu sekali diadakannya peratoeran yang memperlindungi segala djenis
benda dan segala padang-padang yang diasingkan boeat persediaan. Oleh karena
itoe, dilarang dalam tanah persediaan ini mencari hewan yang hidoep,
menangkapnya, meloekainya, atau memboenoeh mati, mengganggoe sarang dari
binatang-binatang itoe, mengeloerkan hidoep atau mati atau sebagian dari
binatang itoe lantaran itoe memoendoerkan banyaknya binatang”.
Itulah petikan salah satu
paragraf dalam Deklarasi Tapaktuan, sebuah deklarasi dari masyarakat Aceh yang
mulai berlaku sejak tanggal 1 Januari 1934. Pada saat itu ditandatangani oleh
pemuka adat dan Perwakilan Gubernur Hindia Belanda di Aceh. Sejarahnya pada
tahun 1920-an Pemerintah Kolonial Belanda memberikan ijin kepada F.C Van Heurn
seorang ahli geologi untuk melakukan penelitian guna eksplorasi sumber minyak
dan mineral di Aceh. Hasilnya dinyatakan bahwa pada lokasi yang diteliti tidak
ditemukan kandungan mineral yang besar, serta pemuka-pemuka adat setempat
menginginkan agar mereka peduli terhadap hutan-hutan di Gunung Leuser. Van
Heurn mendiskusikan hasil pertemuannya dan menawarkan kepada para wakil pemuka
adat (para Datoek dan Oeloebalang) untuk mendesak Pemerintah Kolonial Belanda
untuk memberikan status kawasan konservasi (Wildlife
Sanctuary). Setelah berdiskusi dengan Komisi Belanda untuk Perlindungan
Alam, pada bulan Agustus 1928 sebuah proposal disampaikan kepada Pemerintah
Kolonial Belanda yang mengusulkan Suaka Alam di Aceh Barat seluas 928.000 ha
dan memberikan status perlindungan terhadap kawasan yang terbentang dari
Singkil (pada hulu Sungai Simpang Kiri) di bagian selatan, sepanjang Bukit
Barisan ke arah lembah Sungai Tripa dan Rawa Pantai Meulaboh di bagian utara[1].
Saya mencoba membayangkan Aceh
pada masa Deklarasi Tapaktuan dilakukan. Pada masa itu barangkali perwujudan hutan
dan gunung di Aceh masih perawan dan terjaga, apalagi ditambah dengan kultur
adat yang kuat untuk menjaganya. Deklarasi tersebut menunjukkan bahwa komitmen
kuat untuk melindungi Kawasan Ekosistem Leuser (KEL) sudah digaungkan bahkan
sejak Indonesia belum memproklamirkan kemerdekaannya. Berselang 74 tahun
setelahnya kawasan ini menjadi Kawasan Strategis Nasional berdasarkan PP No.28
Tahun 2008. Misinya sama yaitu untuk mewujudkan KEL sebagai kawasan dengan
fungsi lindung yang menaungi wilayah-wilayah di sekitarnya.
Sejarah tetap ada, namun
perkembangan menimbulkan perubahan. Perjalanan untuk mempertahankan fungsi KEL
sesuai dengan peruntukannya tengah menghadapi sandungan dengan dihapuskannya KEL sebagai
Kawasan Strategis Nasional berdasarkan Qanun Aceh No.19 Tahun 2013 tentang
Rencana Tata Ruang dan Wilayah Aceh (RTRWA). Qanun RTRWA seharusnya mampu menjadi payung hukum bagi keberlangsungan KEL,
sebagai sebuah kebijakan formal untuk menaungi keberlanjutan ekologi kawasan
tersebut. Dihapusnya KEL dari RTRWA artinya membuka pintu konversi fungsi asli
KEL. Hal ini menyedihkan sebab KEL lahir dari proses perjuangan perlindungan
rakyat Aceh dari invasi kolonial yang ingin membuka tambang dan perkebunan di
wilayah yang memiliki keunikan flora dan fauna. Menghapus KEL dari RTRWA
artinya membuka satu pintu kepunahan terhadap keanekaragaman hayati yang ada
dan akan disusul dengan terbukanya pintu-pintu kerusakan lainnya yaitu bencana
yang dihadapi oleh manusia.
Ingatan saya kemudian kembali
pada akhir tahun 2014. Saat itu saya mendapatkan tugas untuk menjadi fasilitator
dari salah satu Non Governmental
Organization (NGO) Internasional untuk mengkaji tentang adaptasi perubahan
iklim, salah satu wilayahnya adalah Provinsi Aceh dengan mengambil kawasan antara
lain di Kabupaten Gayo Lues. Fasilitasi diarahkan untuk mengetahui persepsi
masyarakat di Gayo Lues mengenai perubahan iklim dengan fokus peserta para
petani di wilayah sekitar hutan. Petani memiliki pemahaman bahwa perubahan iklim
telah terjadi terutama karena tiga hal yaitu: (1) tingginya intensitas
kebakaran hutan, (2) aktivitas illegal
logging, (3) peningkatan ekspansi usaha perkebunan. Dampaknya kemudian
adalah masyarakat luas (diartikan seluruh Gayo Lues) rentan terhadap kejadian
bencana alam seperti banjir, tanah longsor, dan khusus untuk masyarakat
pinggiran hutan rentan terhadap resiko kebakaran hutan. Pernyataan dari hasil
fasilitasi (data mikro) tersebut ternyata selaras dengan data makro dari Badan
Pusat Statistik (BPS). Dilansir dari BPS dan diketahui bahwa sejak tahun
2011-2015 bencana di Aceh tercatat sejumlah: 163 kejadian banjir, 41 kejadian
kebakaran, 30 kejadian kekeringan, 22 kejadian tanah longsor, dan 13 kejadian
banjir disertai tanah longsor. Jumlah tersebut belum ditambah dengan banyaknya
kerusakan hutan akibat illegal logging, konsesi
perkebunan kelapa sawit, juga banyaknya konflik antara hewan dan manusia. Fakta
dari data tersebut menunjukkan bahwa fungsi KEL sebagai sebuah kawasan
ekosistem yang menyangga kehidupan sangat dibutuhkan oleh masyarakat Aceh
(khususnya).
Sayangnya sebagai sebuah kawasan
strategis, KEL menjadi sebuah obyek yang dapat dikatakan “seksi” secara politis
karena kaya akan sumber daya. Tarik ulur kebijakan sangat mungkin terjadi. KEL harus dipandang secara holistik sebagai sebuah
entitas hasil interaksi antara alam dan manusia. Sebagai entitas alamiah
(biotik dan abiotik) KEL bereproduksi untuk membangun siklus kehidupannya dan
menyajikan banyak manfaat. KEL menjadi basis dari siklus karbon, laboratorium
hayati, gudang oksigen, rumah hidup flora fauna, sumber air dan hulu Daerah
Aliran Sungai, semua itu diperlukan untuk menjaga keseimbangan hidup manusia. Proses-proses
kebijakan yang berhubungan dengan KEL harus memiliki goal setting untuk
kepentingan masa depan sehingga keberadaan KEL tidak hanya menjadi cerita bagi
generasi yang akan datang. Proses tersebut juga harus memuat mengenai penguatan
kelembagaan untuk mempertahankan KEL sebagai kawasan strategis yang dibangun
dari tingkat lokal, daerah, dan nasional.
Kita semua harus terus berusaha
memperjuangkan KEL untuk tetap masuk dalam Qanun RTRWA. Barangkali bukan sebuah
perjuangan secara langsung yang sempat digambarkan oleh Pramoedya Ananta Toer
dalam buku Bumi Manusia tentang prajurit Aceh yang melawan tentara asing dengan
bekal bambu runcing untuk menghadapi senjata laras panjang[2].
Meski demikian prajurit-prajurit tersebut tidak pernah gentar karena mereka
yakin bahwa mereka memperjuangkan haknya, tanah airnya. Pun barangkali juga
bukan perjuangan langsung yang tengah dilakukan oleh kawan-kawan masyarakat
Aceh yang tergabung dalam Gerakan Masyarakat Aceh Menggugat (GeRAM) terhadapQanun RTRWA yang langsung berada di majelis sidang. Perjuangan yang dapat kita
lakukan adalah dengan terus membantu menyebarkan informasi kepada sebanyak
mungkin khalayak bahwa upaya penetapan kebijakan KEL untuk tetap masuk dalam
Qanun RTRWA sedang terus dilakukan. Juga, kita tidak boleh lupa bahwa KEL lahir
dari perjuangan melalui Deklarasi Tapaktuan 82 tahun silam, sebuah perjuangan dari pendahulu bangsa ini. Mari perjuangkan,
demi keberlanjutan KEL, demi hutan di masa depan. Tanyoe Haha Eteun, Eteun Haha Tanyoe (Kita Jaga Hutan, Hutan Jaga
Kita –bahasa Aceh-).
[1] http://www.seputaraceh.com/read/15298/2013/01/01/1-januari-inilah-sejarah-masa-lampau-di-aceh
[2] Dikisahkan
dari cerita Jean Marais (tokoh dalam roman Bumi Manusia)