![]() |
Picture from here: click! |
"You don't marry someone you can live with, you marry the person you can't live without."
-Author Unknown-
Sebelumnya dalam benak saya terbersit bahwa kebebasan sebagai seorang
perempuan akan terenggut seiring dengan pengambilan keputusan untuk menikah.
Sampai akhirnya saya berada dalam kondisi menjadi seorang istri. Bagi saya
sekarang, menjadi istri bukan mengambil hak kebebasan seorang perempuan.
Menjadi istri adalah titik balik untuk menjadi perempuan yang sebenarnya,
sebuah transformasi besar untuk membangun generasi dan upaya perbaikan diri
terus-menerus.
Mengapa saya
sebut ini adalah sebuah transformasi besar? Sebagai seorang perempuan yang
mengedepankan kebebasan berpikir, pada awalnya sulit untuk berdamai dengan diri
sendiri. Berdamai dengan ego pribadi
yang seringkali merasa paling benar, terlalu keras dengan diri sendiri, atau
pun rasa mandiri yang selama ini sudah melekat cukup membuat repot upaya untuk
menerima pendapat orang lain (read: pasangan, suami). Tapi mungkin inilah keajaiban dan berkah
pernikahan, perlahan, justru sisi perempuan saya muncul. Alih-alih merasa repot
dengan segala yang melekat pada diri saya yang cukup keras kepala selama ini,
saya menjadi bersyukur dengan setiap kondisi yang pernah saya alami, pernah
saya lewati. Dan tentu saja, saya sangat sangat bersyukur hidup dengan suami
saya yang sangat luar biasa. Benar, Tuhan tidak pernah mengingkari janji,
menciptakan manusia berbangsa-bangsa dan bersuku-suku untuk saling mengenal.
Menciptakan pasangan dari manusia laki-laki dan perempuan untuk saling
melengkapi.
Saya mencoba
berpikir dan bertindak dengan lebih sederhana, tapi mudah-mudahan lebih
berarti. Tidak ada salahnya seorang perempuan memiliki kebebasan berpikir, bagi
saya itu harus, tetapi yang lebih penting adalah bagaimana kita mampu untuk
mengelola pemikiran/gagasan tersebut menjadi sesuatu yang bermanfaat. Bukan
untuk melawan pendapat orang lain secara asal-asalan, apalagi menjadi tidak hormat
kepada pasangan. Perempuan yang memiliki kebebasan berpikir seharusnya memiliki
kesadaran untuk terus menerus meningkatkan kapasitas diri dan meng-upgrade kemampuannya untuk membangun
keluarga yang semakin baik. Mampu mengasihi generasi penerus yang ia kandung,
lahir, dan besarkan dengan didikan yang cerdas baik secara intelektual maupun
emosional.
Tidak ada
salahnya juga perempuan mandiri sejak sebelum menikah. Banyak makna mandiri di
sini, misalnya mandiri secara finansial dan kemandirian sikap. Sepanjang hal
tersebut tidak mengurangi esensi dari kehidupan bersama yang dibangun oleh
pasangan suami istri. Kemandirian finansial seorang perempuan ketika sudah
bersuami harus dipahami sebagai sebuah upaya supporting yang tentu saja
tidak berlebihan dan tidak meminggirkan peran suami, apalagi membuat seorang
istri merasa lebih superior. Kemandirian sikap misalnya, tidak manja berlebihan
dan mampu menjaga nama baik keluarga ketika suami berada di luar rumah.
Membangun komitmen sebagai perempuan dari seorang
lajang menjadi seorang istri adalah transformasi besar. Benar bahwa akan ada
banyak hal yang mungkin tidak lagi sama seperti ketika masih lajang, namun saya
percaya akan ada lebih banyak hal baik yang terjadi saat ini, karena saya
menjalaninya bersama pasangan saya yang terbaik, tidak lagi sendiri.
Bima, 01 September 2015
14:53 WITA
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
BERI KOMENTAR