![]() |
Picture source: Click! |
Kemarin selepas magrib saya
berjalan di area sekitar kampus IPB Dramaga, tepatnya di wilayah Babakan
Tengah. Sambil bersaing dengan angkot dan motor yang melaju tanpa terlalu
menghiraukan pejalan kaki, saya terus menyusuri jalanan yang di pinggirnya
terdapat selokan mampet. Kalau anak IPB atau alumninya mungkin familiar dengan
wilayah ini, setidaknya di sinilah salah satu pusat kost-kostan dan juga tempat
kuliner yang cukup enak dan murah. Saya berjalan dari arah Pangkalan Angkot
menuju Tembok Berlin (area tembok yang dianalogikan seperti pemisah Jerman Barat
dan Jerman Timur, tembok ini memisahkan antara area kampus dengan pemukiman
penduduk). Separuh langkah sebelum sampai di Tembok Berlin saya berpapasan
dengan seorang lelaki peminta-minta yang
tengah duduk dan menengadahkan tangan.
“Kak, minta Kak, belum makan Kak”
ucapnya dengan suara memelas dan juga bergetar. Peminta-minta itu memakai kaos
oblong warna kuning, sendal jepit, dan juga celana panjang yang kumal. Dalam
gelap, wajahnya terlihat tidak karuan.
Tapi alih-alih iba, perasaan saya
justru sudah menjadi kebal dengan fenomena peminta-minta di area sekitar kampus.
Termasuk dengan kasus yang satu ini. Saya tahu laki-laki peminta-minta ini sejak
saya awal TPB (tahun 2007). Saat itu area di dalam kampus IPB belum rapi
seperti sekarang, area parkir di depan Dekanat FEM saat ini dulunya adalah
lahan yang tidak terpakai dengan bangunan kantin yang sudah rusak. Jalanan
menuju perpustakaan pusat (LSI) juga masih jalan setapak. Di situlah pertama
kali saya bertemu dengan laki-laki tersebut dan dengan kalimat sama yang juga
saya dengar semalam. Pada saat itu, saya dan teman asrama yang bertemu dengan
laki-laki tersebut berinisiatif untuk menyerahkan sebagian uang jajan kami
untuk laki-laki itu, pada saat itu dia berujar akan pulang ke desanya
tapi tidak punya ongkos. Kami berdua (saya dan teman saya) selayaknya mahasiswa
baru yang polos dan belum tahu banyak informasi tentang kampus serta merta
percaya pada ucapannya. Pada saat itu motifnya adalah ingin menolong, just it.
Beberapa bulan kemudian, ketika
saya melewati lokasi yang sama, saya bertemu kembali dengan lelaki
peminta-minta itu. Masih dengan dandanan yang sama dan perkataan yang sama. Saat
itu rasanya saya ingin menghardik atau apa pun, saya geram karena dia tidak
memenuhi perkataannya untuk pulang kembali ke desanya. Lalu berangsur saya
mulai tahu banyak sekali modus meminta-minta di dalam kampus, termasuk banyak
sekali modus pencurian. Oke, saya sudah memberikan stempel di kepala orang itu
untuk tidak menghiraukannya lagi. Bulan berganti, tahun juga berlalu. Pada masa
melewati semester demi semester kuliah S1 saya, tidak terhitung saya bertemu
dengan orang itu, dengan gaya dan perkataan yang sama. Di berbagai tempat, dekat perpustakaan pusat, di koridor fakultas, di dekat tembok berlin, di jalanan Babakan Tengah. Rasa kasihan saya
sudah hilang, jangankan untuk membantu, saya justru merasa tidak rela mengapa
orang yang kelihatan sehat dan sebenarnya mampu untuk bekerja itu meminta-minta
di area tempat lalu lintas mahasiswa. Hipotesa saya, sebenarnya orang itu tidak
akan bertahan untuk meminta-minta di area yang sama (kampus) jika dia tidak
memperoleh pendapatan yang cukup. Sesuatu jika diulangi berkali-kali, hasilnya
akan menjadi sebuah kebiasaan. Kebiasaan tersebut dapat saja melenakan bagi
pelakunya, mungkin sama halnya dengan laki-laki peminta-minta tersebut.
Benar bahwa ketika kita memberi,
sebaiknya memang karena kita ingin memberi. Tidak ada motif lain selain karena
mau menolong atau disebut perilaku altruistik. Namun demikian dalam kasus saya,
kenyataan untuk berbuat altruistik itu sudah luntur dengan pengalaman empiris
yang berulang-ulang dan kejadiannya sama dengan personal yang sama juga. Alih-alih
untuk ‘menyembuhkan’ ketidakberdayaan, perilaku altruistik yang ada justru kadang
dimanfaatkan oleh sebagian orang untuk memperoleh keuntungan. Dari sisi yang
sama, altruistik ini justru menyuburkan atau mempertahankan perilaku fatalis
dari orang-orang yang enggan untuk bekerja keras dan berpikir dapat memperoleh
penghasilan dari cara instan dengan meminta-minta. Sekali lagi, hipotesa saya,
jika orang itu merasa tidak tercukupi penghasilannya selama menjadi peminta-minta
di kampus, saya yakin dia tidak akan bertahan hingga tadi malam saya lewat
jalan Babakan Tengah. Waktu dari 2007 hingga 2015 bukanlah jangka yang sebentar
untuk menilai apakah sebaiknya kita menolong untuk memberi atau memilih untuk
sama sekali tidak berempati.
Pada akhirnya, saya ingin
mengatakan bahwa sedekah (memberi) itu penting dan bahkan diajarkan dalam agama
mana pun, dalam norma keluarga dan masyarakat. Namun dengan catatan, memberi
yang tepat untuk kepentingan memberdayakan dan bukan melenakan serta
menciptakan ketergantungan.
Bogor, 17 Februari 2015