![]() |
Picture form here: Click! |
"Repetition is the mother of skill."
(Anthony Robbins)
Berbicara
tentang keahlian tidak selalu dihubungkan dengan level pendidikan. Sayangnya
salah kaprah penafsiran bahwa orang yang ahli adalah orang yang berpendidikan
membuat berbagai profesi menjadi termarginalkan. Misalnya pembuat bakso dan
gorengan, tukang tambal ban, tukang parkir, pedagang kaki lima dan berbagai
profesi lain di sektor informal. Sewaktu saya mengambil mata kuliah sosiologi
kemiskinan di jurusan Sosiologi Pedesaan IPB, saya ingat pernah ada pembahasan
kritik terhadap Undang-undang kita mengenai pengertian sektor informal yang
sebenarnya kurang tepat untuk diterapkan. Persoalannya adalah soal keahlian
yang dianggap linear dengan ijazah seseorang.
Kenyataannya
keahlian seseorang tidak melulu ditentukan dari pendidikannya. Pendidikan memang
menjadi salah satu faktor penting, tetapi bukan penentu utama. Kalau seseorang
mau menjadi ahli penyakit hewan misalnya, dia harus kuliah hingga memperoleh
gelar doktor dari jurusan patologi hewan, itu benar. Kemudian jika sang doktor
patologi hewan tersebut berkendara kemudian di tengah perjalanan ban mobilnya
bocor dan karena ia tidak memiliki keahlian untuk mengganti ban dengan ban
serep maka ia mencari tukang tambal ban untuk memasangkannya. Ilustrasi
tersebut kira-kira menunjukkan bahwa orang yang ahli dalam satu bidang belum
tentu bisa di bidang lainnya. Sang doktor patologi hewan tidak ahli mengenai
tambal ban dan sebaliknya tukang tambal ban juga tidak ahli mengenai vaksin apa
yang digunakan jika sapi mengalami infeksi jamur di seluruh kulitnya. Semua sudah
ada porsinya masing-masing.
Sekali
lagi keahlian menurut saya tidak selalu linear dengan pendidikan. Keahlian adalah
soal keterampilan yang terus diasah dan menjadi brand seseorang dalam
kehidupannya. Salah kaprahnya negeri ini memaknai keahlian kemudian tidak hanya
meminggirkan profesi tertentu, tetapi juga di lembaga pendidikan sendiri
sebagai tempat “ditempanya” keahlian seseorang juga kerap terjadi marginalisasi
program studi tertentu. Program studi A dianggap lebih bonefide daripada
program studi B, mahasiswa fakultas A lebih pintar dari pada fakultas B karena
ilmu yang dipelajari dianggap lebih “sulit”. Mirisnya hal tersebut berlangsung
terus-menerus dan bahkan sudah diluar kesadaran, seakan-akan sudah wajar untuk
menyudutkan satu jurusan dengan jurusan yang lainnya. Kenyataan sebenarnya,
tidak ada program studi yang lebih baik, tidak ada ilmu yang lebih sulit, tidak
ada mahasiswa yang lebih pintar. Sebab jika komparasi-komparasi yang selama ini
menjamur itu benar, maka satu-satunya tolak ukur kepintaran dan keahlian
hanyalah indeks prestasi kumulatif. Kenyataannya: TIDAK.
Dalam
ajaran agama disebutkan jika sesuatu tidak diserahkan kepada ahlinya, maka
tunggulah saat kehancurannya. Kembali lagi ke analogi doktor patologi hewan,
jika dia memaksakan diri untuk mengatasi ban bocornya sendirian padahal dia
tidak memiliki keahlian dalam bidang itu maka besar kemungkinan akan salah atau
terjadi kecelakaan selanjutnya. Sebaliknya jika tukang tambal ban dipaksa untuk
mengatasi penyakit infeksi jamur pada sapi, mungkin saja dia akan ikut
terinfeksi. Sama halnya dengan mahasiswa yang selama ini merasa jurusan A lebih
bagus daripada jurusan B, dalam hal sederhana misalnya, seorang mahasiswa
komunikasi yang ahli dalam negosiasi diminta untuk menyelesaikan soal algoritma,
hasilnya mungkin tidak maksimal. Sebaliknya mahasiswa matematika diminta untuk
membuat iklan produk, hasilnya juga mungkin tidak maksimal. Analogi tersebut
tidak berhenti hanya sampai di situ saja. Semua keahlian bisa dipelajari dan
proses belajar itu tidak hanya terbatas di bangku sekolah. Doktor patologi bisa
mempelajari cara tambal ban, tukang tambal ban bisa belajar menyuntuk sapi,
mahasiswa komunikasi bisa belajar matematika, mahasiswa matematika bisa belajar
cara mengiklankan produk. Namun yang disebut ahli adalah mereka yang menekuni.
Ada banyak orang tanpa gelar profesor, doktor, master, sarjana yang justru
sangat ahli dalam satu bidang tertentu. Terima kasih untuk pembuat bakso,
pembuat donat, tukang sampah, ibu laundry, tukang tambal ban, pembuat ikan
asap, dan semua ahli di dunia yang tak bergelar.
Mari berhenti untuk memandang sebelah mata mengenai
profesi tertentu sebab semuanya butuh keahlian, dan keahlian itu diasah terus
menerus.
Bima, 08 September 2015
14:21 WITA