Implementasi
teknologi di negara berkembang, khususnya di pedesaan mengarah pada dualisme
ekonomi dimana metode sistem produksi dan transplantasi proses produksi di
negara maju tidak selalu berhasil dalam meningkatkan produktivitas maupun
penyebaran keuntungan ke semua kelas sosial (Saeed, 1994). Dalam hubungannya
dengan masyarakat, teknologi harus difungsikan dalam hubungan informasi dan
landasan pengetahuan yang didasarkan pada sistem organisasi sosial masyarakat
setempat. Rifkin (1981) dalam Saeed (1994) menyebutkan bahwa teknologi harus
dilihat sebagai pelibatan proses teknik dan manajerial dalam pemilihan input dan output ke sistem lingkungan serta penciptaan sistem organisasi dan
aplikasinya untuk mengatasi kekacauan, memelihara persatuan, dan menggerakkan
pertumbuhan.
Indonesia sebagai negara berkembang
dengan tenaga kerja yang melimpah mempunyai keunggulan komparatif dalam
industri-industri padat karya karena tenaga kerja relatif murah dibanding di
negara yang mengalami kelangkaan tenaga kerja. Konsep keunggulan komparatif ini
dikritik karena dianggap kurang relevan bagi perkembangan ekonomi Indonesia karena
sifatnya foot lose. Konsep keunggulan
komparatif tersebut digantikan oleh keunggulan kompetitif yang memperhitungkan
semua faktor pokok yang mempengaruhi daya saing pada sistem produksi.
Keunggulan kompetitif sangat menekankan produksi barang-barang terdiferensiasi
yang bermutu tinggi dan mempunyai ciri khas yang sesuai dengan selera konsumen
dan efisien. Sektor yang memiliki keunggulan kompetitif ini antara lain adalah
perusahaan yang bersifat padat modal dan teknologi tinggi.
Pendekatan pembangunan yang
berlandaskan teknologi padat modal disebabkan adanya keyakinan bahwa teknologi
ini secara komersial lebih efisien dibandingkan teknologi padat karya. Namun
implementasi produksi padat modal di negara berkembang seperti Indonesia
menyebabkan terjadinya ketidakseimbangan struktural, regional, dan manfaat
pembangunan. Hubungan eksploitatif terjadi antara pengusaha besar terhadap
pengusaha kecil, terhadap konsumen melalui penentuan harga di atas wajar, dan
terhadap buruh karena rendahnya tingkat upah minimum memunculkan kondisi “rente
ekonomi” (Arief, 1998).
Pemfungsian teknologi guna
menciptakan hubungan yang setara antara berbagai pihak mensyaratkan peranan
beberapa sistem yang saling berinteraksi yaitu politik, ekonomi, produksi dan
sumberdaya. Pemilihan dan manajemen teknologi harus terintegrasi dengan
fungsi-fungsi yang relevan dari sistem-sistem tersebut yang meliputi[1]: 1) Penciptaan sistem
intensif oleh pemerintah yang menentukan pilihan teknologi yang menuju pada
pemilihan material yang cocok dari lingkungan setempat; 2) Alokasi sumber daya
(oleh pemerintah) antara aktifitas ekonomi dan instrumen kontrol untuk
memaksimalkan kesejahteraan dan sekaligus mengatasi konflik politik; 3)
Transformasi sumber daya yang efisien ke dalam troughput (barang, jasa, energi) dengan pilihan teknologi yang smooth dan trouble-free
adoption; 4) Distribusi pendapat yang wajar melalui transaksi yang terjadi
antar aktor ekonomi yang ada pada sistem serta regenerasi limbah di sistem
lingkungan.
Pemilihan teknologi untuk memberikan
fasilitas perbaikan dalam masyarakat mensyaratkan sebuah kebijaksanaan teknologi
yaitu[2]: 1) Mempunyai efek
meningkatkan produk barang dan jasa yang tersedia bagi masyarakatnya tanpa
adanya diskiriminasi pada jenis potensi alam yang ada; 2) Menyebabkan sedikit
mungkin kontrol pemerintah sehingga pertambahan penduduk dapat dikonsumsi tanpa
berlipatgandanya instrumen kontrol; 3) Tidak membatasi keuntungan dari naiknya
produksi pada kelompok kecil masyarakat tetapi harus disebarkan ke seluruh
bagian masyarakat; 4) Memiliki metode produksi baru yang efisien yang bersifat trouble-free implementation.
Kenyataan saat ini menunjukkan bahwa
telah banyak teknologi yang diusahakan oleh masyarakat, namun sebagian besar
dicirikan oleh karakteristik yang kurang menguntungkan. Karakterisik yang
dimaksud adalah tidak kontinyu, skala usaha kecil, kualitas rendah, sederhana,
pasarnya lokal dan terbatas, dan manajemennya terkait dengan kepentingan rumah
tangga. Di sisi lain terdapat aktifitas industri dengan teknologi maju yang
kondisinya berkebalikan dengan apa yang diupayakan oleh masyarakat. Kenyataan
ini mengindikasikan bahwa perlu upaya
untuk mengintegrasikan penerapan teknologi sederhana dengan teknologi padat
modal. Beberapa komponen penting
yang perlu diperhatikan dalam upaya integrasi teknologi tepat guna dengan
teknologi padat modal adalah: 1) Pengembangan teknologi didasarkan pada
wilayah dan potensi sumberdayanya sehingga mampu menciptakan resource based industry; 2) Pola usaha
untuk mengintegrasikan teknologi tepat guna dengan teknologi padat modal adalah
pola kemitraan; 3) Transfer teknologi harus dirancang secara integratif mulai
dari pusat hingga daerah, bahkan sampai pada level operasional di industri
kecil menengah yang ada di pelosok pedesaan; 4) Manajemen pemasaran harus
dilakukan secara tepat dengan membentuk jejaring usaha dengan prinsip
kesetaraan sehingga memiliki kekuatan untuk menembus pasar global seperti halnya
industri besar; 5) Model kebijakan endogenus
yang saling menumbuhkembangkan antara industri hulu hingga hilir.
[1]
Saeed, Khalid, 1994, Development Planning
and Policy Design, New Castle: Asgate
Hal. 141
Referensi:
Arief, Sritua, 1998,
Pembangunanisme dan Ekonomi Indonesia, Jakarta: CPSM.
Dharma, Agus, 2012, Pengaruh
Penerapan Teknologi Terhadap Perubahan Struktur Masyarakat di Indonesia, http://staffsite.gunadarma.ac.id/agus_dh/ [diunduh, 04 Mei 2013, pukul 14.23 wib]
Mahlinda, 2012,
Pengembangan Teknologi Tepat Guna Untuk Pemberdayaan Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM), Jurnal
Ekonomi dan Pembangunan Vol. 5,
No.1, hal. 16-30.
Munaf, Dicky R, et al, 2008, Peran Teknologi Tepat Guna
Untuk Masyarakat Daerah Perbatasan
Kasus Propinsi Kepulauan Riau, Jurnal Sosioteknologi Edisi 13 Tahun 7, April 2008, hal. 329-333.
Saeed, Khalid, 1994, Development Planning and Policy Design,
New Castle: Asgate.
Tinambunan, D, 2008,
Teknologi Tepat Guna Dalam Pemanfaatan Hutan di Indonesia: Perkembangan, Keunggulan, Kelemahan dan Kebijakan
yang Diperlukan untuk Optimasi
Pemanfaatannya, Jurnal Analisis Kebijakan Kehutanan.
Vol. 5 No. 2, Agustus 2008: 59 – 76.
Instruksi Presiden Republik
Indonesia No. 3 Tahun 2001 Tentang Penerapan dan Pengembangan Teknologi Tepat Guna.
Peraturan Menteri Dalam
Negeri No. 20 Tahun 2010 Tentang Pemberdayaan Masyarakat
Melalui Pengelolaan Teknologi Tepat Guna.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
BERI KOMENTAR