Perspektif Materialistik
Perubahan sosial bisa disebabkan
oleh faktor material baik berupa faktor-faktor ekonomi atau pun teknologi yang
berhubungan dengan produktifitas ekonomi. Teknologi baru maupun moda produksi
ekonomi mendorong perubahan pada aspek interaksi, organisasi sosial, kultur,
kepercayaan, dan norma-norma. Karl Marx sebagaimana dijelaskan oleh Harper
(1989) menganggap bahwa moda produksi (force
of production) merupakan pembentuk sistem sosial dan penyebab perubahan
sosial. Relasi produksi membentuk struktur masyarakat yang ditentukan oleh
penguasaan moda produksi. Marx melihat perubahan masyarakat di Eropa yang
berubah dari feodal menuju masyarakat kapitalis industri memiliki dua konsekuensi yaitu: 1) terbukanya
kesempatan kerja pada pabrik-pabrik di kota, dan 2) terciptanya kelas-kelas
ekonomi baru. Melihat kenyataan ini Marx berargumentasi bahwa perubahan terjadi
akibat kontradiksi antara moda produksi dengan relasi sosial produksi.
Selain Marx, William Ogburn juga
memberikan argumentasi bahwa perubahan material (teknologi) lebih cepat berubah
dibandingkan perubahan aspek-aspek nonmaterial (ideologi, norma, nilai).
Perbedaan akselerasi perubahan antara aspek material dan nonmaterial tersebut
menyebabkan cultural lag dalam
masyarakat. Mengambil gambaran perubahan yang disebabkan oleh adopsi teknologi
di Amerika, Ogburn mengatakan bahwa
faktor material merupakan penyebab utama perubahan.
Selanjutnya Harper (1989) menjelaskan bahwa teknologi
dapat menjadi penyebab perubahan karena 3 hal: 1) Inovasi teknologi
meningkatkan alternatif-alternatif dalam masyarakat; 2) Teknologi baru mengubah
bentuk interaksi antar orang; 3) Teknologi baru menciptakan permasalahan yang
harus diselesaikan. Namun demikian terdapat keterbatasan bahwa teknologi
merupakan penyebab perubahan sosial karena perubahan sosial dapat terjadi tanpa
perubahan yang bersifat teknis. Perubahan pada aspek teknologi bisa saja tidak
menyebabkan perubahan pada semua aras dalam masyarakat[1].
Perspektif
Idealistik
Perspektif idealistik dilihat
sebagai ide, nilai-nilai, dan ideologi yang menyebabkan perubahan. Ide terdiri
atas pengetahuan dan kepercayaan-kepercayaan, nilai merupakan asumsi mengenai
apa yang diinginkan dan tidak diinginkan, dan ideologi dipahami sebagai
kombinasi antara kepercayaan dan nilai untuk memberikan legitimasi maupun
justifikasi terhadap perilaku manusia (misalnya demokrasi, kapitalisme,
sosialisme). Ahli sosiologi yang menyatakan bahwa perubahan sosial disebabkan
oleh perubahan pada aspek idealistik adalah Max Weber (1905) dan Guenter Lewy
(1974)[2].
Weber berpandangan bahwa kapitalisme
industri tidak bisa hanya dilihat sebagai perubahan yang disebabkan oleh aspek
material seperti yang disebutkan Marx. Dengan tidak menolak pendapat Marx,
menurut Weber, pembangunan yang sifatnya teknis tidak hanya terjadi di negara
Barat tetapi juga merambah India dan Cina (sebagai negara Dunia Ketiga), hal
ini mengindikasikan bahwa kemajuan (pembangunan) yang terjadi di Barat
sebenarnya disebabkan oleh sistem nilai masyarakatnya yang berinteraksi dengan
aspek material.
Pemikiran Weber bertolak dari
fenomena empiris, bahwa hubungan terus-menerus yang terlihat jelas di periode
awal kapitalisme, agen penting (pimpinan perusahaan, tenaga teknis dan
komersial terlatih, tenaga kerja terampil) cenderung didominasi oleh orang Protestan.
Weber mengingatkan bahwa di dalam Protestantisme terdapat berbagai sekte
terpisah yang berbeda kekuatan pengaruhnya dalam menggerakkan etos kapitalis.
Cabang-cabang Protestantisme (Calvinisme, Methodisme, Baptisme) berorientasi
pada kehidupan duniawi yang mengkombinasikan kecerdasan berbisnis dengan
kesalehan agama. Di dalam kombinasi ideologi Protestan sumber kapitalisme
ditemukan. Begitu semangat kapitalisme tumbuh, maka struktur hubungan sosial
pun akan berubah[3].
Sejalan dengan Weber, Lewy (1974) tidak mengabaikan aspek material sebagai
keadaan yang menciptakan perubahan, tetapi perubahan tidak bisa dipahami tanpa
menjelaskan pengaruh dari nilai-nilai serta kebijakan agama.
Dalam perspektif idealistik,
perubahan setidaknya dipahami melalui 3 hal: 1) Legitimasi sebuah keinginan
untuk berubah; 2) Ideologi menadi basis yang mampu menjelaskan solidaritas
sosial sebagai penyebab perubahan yang penting; 3) Ide dan nilai mampu
menjelaskan kesenjangan antara ideal dan faktual sebagai penyebab perubahan.
[1] Harper
mencontohkan perubahan penggunaan material batubara menjadi gas sebagai
penghangat ruangan bisa saja memberikan perubahan yang signifikan dalam
industri energi, tetapi hal tersebut diragukan sebagai penyebab perubahan yang lain seperti
stratifikasi sosial atau pun sistem kekerabatan)-- Harper, Charles L. 1989.
Exploring Social Change (Chapter 4-5). New Jersey: Prantice Hall, pg. 58.
[2] Dalam ibid, hal. 58-60.
[3] Sztompka, Piotr.
2011. Sosiologi Perubahan Sosial (Cetakan ke-6) diterjemahkan oleh Alimandan.
Jakarta: Prenada Media Group, Hal. 276-278.
Ya, keyanikan adalah suatu hal dasar dan yg utama untuk menjalani kehidupan. Jika terdapat keyakinan yg kuat, maka akan menciptakan suatu kepercayaan, baik itu baru atau hanya sekadar untuk menguatkannya.
BalasHapusGue suka kalimat ini,
"Lalu dengan bodohnya, debat berujung pada pernyataan ‘ini benar’ dan ‘itu salah’. Istilah ‘ini benar’ menuntun pada makna ‘agamaku lebih benar’ dan ‘itu salah’ adalah ‘agamamu salah, maka aku yang paling benar’. Lalu makna ‘untukmu agamamu dan untukku agamaku menjadi buyar seketika."
Setiap orang memiliki jalan dan pemikiran hidupnya masing-masing yang akan ditanggung sendiri resikonya. Jadi untuk apa mempermasalahkan suatu pendapat hanya untuk mencari jawaban siapa yg benar dan siapa yg salah.