![]() |
Picture Source: click! |
"Marriage is neither heaven nor hell, it is simply purgatory"
(Abraham Lincoln)
Berawal dari
sebuah foto yang diunggah oleh seorang rekan di kampus dengan visualisasi
sepasang pengantin yang tersenyum sumringah, obrolan di dalam grup media sosial
itu pun berlangsung. Pasalnya di dalam foto pengantin itu tertulis “Paket Nikah
Siri Super Hemat (Rahasia Terjaga)”, kemudian tercantum beberapa fasilitas yang
diperoleh yaitu: (1) Wali hakim ustad yang mengerti hukum Islam dan sudah
menjalankan rukun Islam ke lima (Haji); (2) Sudah termasuk dua orang saksi; (3)
Khutbah Nikah dan tausiah setelah akad nikah; (4) Surat keterangan jika
diinginkan. Syarat yag diperuntukkan bagi konsumen ada dua yaitu: (1) Calon
mempelai wanita janda atau jika gadis minimal berusia 22 tahun; (2) Kedua
mempelai memenuhi syarat menikah sesuai syariat islam. Harga untuk satu termin
nikah siri dibandrol Rp 2.500.000.
Lalu
pertanyaan yang muncul di kepala saya, mengapa pernikahan dikomodifikasi
sedemikian “murah” dan seakan-akan diobral begitu saja? Murah di sini bukan
dalam artian nominal dua juta lima ratus ribu rupiah, terlalu sempit
menggunakan ukuran uang untuk mengatakan sesuatu murah atau mahal karena kita
harus melihat konteks di mana dan bagaimana uang itu dipertukarkan. Menurut
saya murah dalam hal ini lebih bermakna pernikahan menjadi sedemikian mudah digunakan
oleh orang sebagi bentuk usaha yang mungkin bisa memenuhi cash flow bisnisnya. Logikanya, uztad yang menikahkan punya event organizer sendiri atau dia
dipromosikan oleh event organizer
tertentu untuk menjadi penghulu akad?
Nikah
siri atau nikah di bawah tangan merupakan fenomena sosial yang masih kerap
terjadi di masyarakat. Kalau ditilik dari UU No. 1 Tahun 1974 kawin di bawah
tangan (siri) seharusnya tidak terjadi lagi karena salah satu kewajiban dalam
pernikahan adalah harus dicatat negara alias ada buku nikah. Disadari atau
tidak sebenarnya ketika mendengar kata nikah siri, sikap yang kemudian muncul
mengarah ke penilaian tidak baik, ada yang dikorbankan, atau justru punya
justifikasi “wah ini nggak bener, kalau
bukan artis biasanya pejabat atau orang yang kelebihan uang yang ngelakuin
nikah siri”. Nah, Majelis Ulama Indonesia (MUI) sendiri membolehkan nikah
siri asal niatnya baik dan semua rukun nikah terpenuhi. Rukun nikah mulai dari
calon mempelai laki-laki dan perempuan, wali, dua orang saksi laki-laki, mahar,
serta ijab qobul. Masing-masing dari poin rukun tersebut memiliki syarat yang
harus dipenuhi untuk sahnya sebuah pernikahan, jadi, sahnya nikah bukan ketika penghulu
bertanya sah kemudian dijawab dengan koor “Saaaaaaahhhh”
tapi jika semua syarat dalam rukun dapat terpenuhi. Itu persoalan fiqih nikah
yang saya sendiri tidak memiliki kapasitas untuk bicara panjang lebar. Sepanjang
ingatan saya dulu ketika SMA belajar Fiqih, satu yang masih saya ingat adalah
soal saksi. Kriteria orang menjadi saksi diantaranya adalah laki-laki, berakal,
tidak sedang melakukan dosa kecil dan dosa besar (adil), serta beberapa syarat
lain. Terlebih bagi perempuan, tidak akan sah pernikahannya tanpa ada wali dari
pihaknya. Berdoa saja bahwa iklan paket nikah siri tersebut bertujuan baik,
jika tidak saya khawatir mengenai rukun dan syaratnya apakah telah sempurna.
Apa sebenarnya tujuan dari nikah siri? Karena biaya pernikahan mahal, supaya
tidak diketahui oleh publik, ingin menghalalkan hubungan seksual suami istri?
Atau yang lebih advance melalui
pertimbangan bisnis merupakan pertukaran jasa? Tidak sedikit dari tujuan nikah
siri adalah diluar tujuan pernikahan yang dipahami oleh seorang muslim yakni
untuk beribadah dan menyempurnakan agamanya.
Sekali waktu saya pernah mengikuti
ujian terbuka seorang calon doktor (pada saat itu, sekarang sudah jadi doktor)
yang disertasinya membahas tentang nikah siri. Salah satu penemuannya adalah
bahwa nikah siri merupakan bagian dari strategi nafkah perempuan di desa
penelitiannya. Melalui ukuran kepemilikan aset, indikator perubahan setelah
nikah siri serorang perempuan misalnya adalah dari sebelumnya tidak memiliki
aset menjadi memiliki aset seperti uang, hewan ternak, atau rumah, tergantung
dari mas kawin yang ditentukan. Lalu mengapa nikah siri dilakukan di desa
tersebut? Nikah siri dilakukan karena sudah ada broker-nya, kemudian stigma
yang diberikan kepada perempuan sebagai perawan tua atau janda dianggap tidak
bermartabat dibanding mereka yang bersuami sehingga nikah siri dianggap langkah
yang lebih baik dibanding tidak menikah. Fenomena lain misalnya yang terjadi di
daerah puncak, Jawa Barat. Nikah siri dilakukan oleh penduduk pendatang dari
Timur Tengah yang kemudian menikahi janda/gadis setempat dan bahkan terikat
kontrak. Sebagian alasannya adalah dibanding melakukan zina.
Apabila
pertimbangannya adalah biaya mahal, nikah siri dibandrol murah sebesar Rp
2.500.000, maka bagi saya lebih rasional memilih nikah melalui KUA dengan biaya
administrasi Rp 600.000 jika diselenggarakan di luar KUA dan Rp 50.000 jika diselenggarakan
di KUA. Secara hukum jelas diakui oleh negera dan pertanggungjawabannya pun
tegas. Apabila pertimbangannya ingin sembunyi dan tidak diketahui publik maka
harus ditilik lagi mengapa publik tidak harus tau, apakah pernikahan yang
dilakukan merupakan dosa sosial yang besar, sedang sembunyi dari orang tua atau
istri tua, atau memang ada hal yang tidak perlu saya debat. Apabila ingin
menghalalkan hubungan seksual suami istri, bagi saya terlalu mendiskreditkan
posisi perempuan karena yang lebih leluasa melakukan akad nikah adalah
laki-laki. Yang jelas, saya tidak sependapat dengan nikah siri yang dipahami
secara sembrono oleh pihak yang ingin meraup keuntungan.
Kasihan sekali
jika perempuan menjadi objek komodifikasi pernikahan dengan dalih bahwa hal itu
dibolehkan oleh agama. Meskipun itu soal pilihan rasional yang melekat pada
individu namun menjadi tidak sinkron ketika pernikahan dimaknai dalam aras
hukum (nilai dan norma) tetapi dipraktekkan pada arena ekonomi. Pernikahan yang
dimaknai sebagai dalam aras nilai dan norma berada di level kelembagaan dengan
pemahaman bahwa ketika sesuatu tidak berjalan sebagai mana mestinya akan
dikenai sanksi mulai dari ditegur, dicela, dihukum, atau dikucilkan. Oleh karenanya ada rukun dan syarat, ada
adabnya, ada juga talak ketika memang sudah tidak dapat disatukan. Tetapi ketika
praktek pernikahan ada di arena ekonomi maka yang menjadi titik berat adalah
soal suply dan demand yang pertimbangannya ada
pada input minimal dengan output maksimal.
Apabila pertimbangan ekonomi berjalan maka dalam keadaan rugi atau kolaps kapan saja ikatan perikahan itu
bisa menjadi tidak sahih lagi. Barangkali demikianlah nikah siri dalam
tempurung kepala saya.
Tabik.
Baranangsiang, 06 Februari 2015
Catatan: Ini pandangan pribadi saya, tanpa tendensi pada agama
tertentu, karena saya muslim maka yang ada dalam tempurung kepala saya adalah
bagaimana rukun dan syarat nikah secara islam.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
BERI KOMENTAR