Meniti sepi di lembaran hari, bertumpuk-tumpuk tersimpan dalam brangkas
waktu. Jika saja hati bisa tawar menawar seperti logika, sepertinya kamu
sudah menjadi bukan siapa-siapa. Sayangnya, cinta telah mengantarku
berdiri di sini, menatapimu dari jauh, memastikan bahwa hatimu lapang
dan ragamu tak rumpang. Ada sendu yang menggelayutiku, mengisi sisi hati
ketika senja datang.
Terlalu banyak kisah yang sebenarnya kita torehkan di saat senja. Ketika
matahari jingga mewarna di tepian waktu, kamu telah duduk di sisiku,
menemani sepi ketika itu. Mengamati sinar dunia yang sebentar lagi
temaram, kamu riang bercerita, matamu berbicara, senyummu bahagia. Dan
ketika senja surut, berganti menjadi hamparan malam yang larut pada
warna hitam, kamu masih di sisiku, menunggui hingga saat aku tak lagi
terjaga. Aku mengenang hari itu, senja di depan pintu dan kita sedang
bercerita tentang rindu, tentang masa lalu, hari ini dan masa depan
tanpa tabu. Senja dengan butiran debu di tengah kebun-kebun yang dijagai
burung hantu.
Ada enam puluh senja yang kita lewati bersama, dengan keteguhan hati
bahwa di saat ini kita akan saling menatap lagi. Sejauh kita melangkah,
semuanya diawali dengan rasa ringan yang tak berbeban. Rasa yang kita
sebut sebagai kedekatan, yang kita namai sebagai biasa saja ternyata
pada akhirnya mewujud pada keistimewaan. Ada getar yang hangat ketika
kita tersenyum, ada rindu yang mengikat ketika pertemuan kita tak umum.
Dan ternyata, kita telah jatuh cinta tanpa kita sadari.
"Ini hanya persoalan waktu" katamu.
Ya, ini hanya persoalan waktu. Bagaimana mungkin tulang rusuk
bernegosiasi dengan waktu? Bukankah ia ada di sebelah kiri tubuhku, dan
seharusnya tidak hilang? Bagaimana mungkin tulang rusuk meninggalkan
jantung kehidupan dan membiarkannya lemah berdegup?
"Ini tidak sekedar persoalan waktu" ucapan ini membalasmu.
Lantas dengan apa bisa dijelaskan, jika sepasang adam dan hawa saling
mencintai namun mereka terpisah karena buah pengetahuan? Apakah itu
tentang waktu? Hingga mereka harus terpisah antara timur dan barat.
Sudah cukup lembaran-lembaran waktu itu tersimpan di brangkas kenangan
yang kamu pegang setengah sandinya. Dan waktu yang kamu maksud tak bisa
kau gunakan untuk membukanya, sebab setengah sandinya lagi berceceran.
Senja telah hilang, terang sudah digantikan lampu-lampu jalan. Kita tak
lagi bergandeng tangan dan merapal doa masa depan. Hanya menunggu waktu,
menunggu sandi-sandi itu terkumpul utuh. Hingga apa yang kamu sebut
waktu mewujud pada kenyataan yang bisa disepahamkan.
Mungkin, malaikat sedang menguatkan tulang rusuk di buku kehidupan sana.
Sebelum ia dipasangkan untuk melindungi degup jantung yang kini
melemah.
#Bogor, 15 minutes left (Laladon sambil nunggu azan Isya-13 September 2012)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
BERI KOMENTAR